5 Tokoh Indonesia Ini Sukses Tanpa Ijazah

By Unknown | At Wednesday, October 23, 2013 | Label : | 0 Comments
Kesuksesan tidak bisa diukur dari selembar ijazah atau gelar sarjana. Tekad kuat, kerja keras, dan ketekunan bisa mengubah jalan nasib seseorang. Tak terkecuali 5 tokoh yang populer di Indonesia ini, mereka sekarang menjadi inspirasi sesuai bidangnya masing-masing.

1. Emha Ainun Najib

Kisah Inspirasi: 5 Tokoh Indonesia Ini Sukses Tanpa Ijazah
Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib, atau lebih populer dipanggil Cak Nun. Ia menjadi tokoh budaya sekaligus pemuka agama yang kharismatik. Jamaah Maiyah Kenduri Cinta yang digagasnya sejak tahun 1990-an menjadi acara rutin sebagai  forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender.
Berbagai pemikirannya di bidang sosial dan keagamaan menjadikannya salah satu tokoh intelektual dalam napas islami. Namun siapa sangka, anak keempat dari 15 bersaudara ini drop out kuliah saat masih di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.

2. Adam Malik

Kisah Inspirasi: 5 Tokoh Indonesia Ini Sukses Tanpa Ijazah
Adam Malik Batubara (lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 5 September 1984 pada umur 67 tahun) adalah tokoh politik dengan banyak jabatan. Pernah menjadi Menteri Perdagangan, Menteri Luar Negeri, lalu Ketua DPR, hingga puncak karinya sebagai Wakil Presiden Indonesia ke-3 dari tahun 1978-1983.
Adam Malik adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, lalu  menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School Pematangsiantar. Ia melanjutkan di Sekolah Agama Parabek di Bukittinggi, namun hanya satu setengah tahun saja karena kemudian pulang kampung dan membantu orang tua berdagang.
Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik untuk pergi merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, ia bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna memelopori berdirinya Kantor Berita Antara.

3. Ajip Rosidi

Kisah Inspirasi: 5 Tokoh Indonesia Ini Sukses Tanpa Ijazah
Ajip Rosidi adalah sastrawan Indonesia, penulis, budayawan, dosen, pendiri, dan redaktur beberapa penerbit, pendiri serta ketua Yayasan Kebudayaan Rancage. Singkatnya, ia tokoh besar Indonesia di bidang tulis-menulis.
Ajip Rosidi mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953) dan terakhir, Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956).
Saat di SMA tersebut, Ajip menolak ikut ujian karena waktu itu beredar kabar bocornya soal-soal ujian. Dia berkesimpulan bahwa banyak orang menggantungkan hidupnya kepada ijazah.
 “Saya tidak jadi ikut ujian, karena ingin membuktikan bisa hidup tanpa ijazah”. Dan itu dibuktikan dengan terus menulis, membaca dan menabung buku sampai ribuan jumlahnya.
Walhasil sampai pensiun sebagai guru besar tamu di Jepang, Dia yang tidak punya ijazah SMA , pada usia 29 tahun diangkat sebagai dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Lalu jadi Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya, Ketua Ikapi Pusat, Ketua DKJ dan akhirnya pada usia 43 tahun menjadi profesor tamu di Jepang sampai pensiun.

4. Andrie Wongso

Kisah Inspirasi: 5 Tokoh Indonesia Ini Sukses Tanpa Ijazah
Di antara motivator yang terkemuka dewasa ini, Andrie Wongso jadi satu tokoh dengan pengalaman hidup yang penuh inspirasi. Anak ke-2 dari 3 bersaudara ini terlahir dari sebuah keluarga miskin di kota Malang.
Di usia 11 tahun (kelas 6 SD), terpaksa harus berhenti bersekolah karena sekolah mandarin tempat andrie kecil bersekolah ditutup. Masa kecil hingga remajanya pun kemudian dilalui dengan membantu orang tuanya membuat dan berkeliling berjualan kue ke toko-toko dan pasar.
Di usia 22 tahun, Andrie merantau ke Jakarta. Pekerjaan awalnya sebagai salesman produk sabun. Sempat juga menjadi pelayan toko.
Jalur nasibnya berubah saat ia melamar sebagai bintang film dan diterima oleh perusahaan Eterna Film Hongkong, dengan kontrak kerja selama 3 tahun. Tahun 1980, untuk pertama kalinya Andrie ke luar negeri. Setelah melewati 3 tahun merasakan suka dukanya bermain film di Taiwan, Andrie tahu, dunia film bukanlah dunianya lalu dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Menandai setiap peristiwa yang telah dilalui, Andrie gemar menuangkannya dalam bentuk kata-kata mutiara di buku hariannya. Saat salah seorang teman kos mencontek kata-kata yang dibuatnya, dari situlah muncul ide membuat kartu ucapan kata-kata mutiara, dengan tujuan selain untuk memotivasi diri sendiri, juga untuk membantu memotivasi orang lain melalui kartu ucapan. Dibantu oleh sang kekasih Haryanti Lenny (sekarang istri), dimulailah bisnis membuat kartu dengan merk HARVEST, yang di kemudian hari, mengukuhkan Andrie sebagai raja kartu ucapan.
Usahanya semakin berkembang sampai ia kemudian mendirikan AW motivation training dan AW Publising, Multimedia serta membuka beberapa outlet AW Success Shop yaitu toko pertama di Indonesia yang khusus menjual produk-produk motivasi.
Kini ia sudah menjadi motivator terkenal - mungkin no.1 di Indonesia. Namanya pun jadi bertambah panjang dengan dua gelar yang disandangnya, Andrie Wongso, SDTT, TBS.
Asal tahu saja, SDTT artinya Sekolah Dasar Tidak Tamat, dan TBS adalah Tapi Bisa Sukses.

5. Bob Sadino

Kisah Inspirasi: 5 Tokoh Indonesia Ini Sukses Tanpa Ijazah
Kita boleh memandangnya sekarang sebagai konglomerat, pengusaha sukses yang kaya raya. Namun lika-liku hidupnya bisa memotivasi kita, bahwa apa pun yang terjadi, kesalahan apa pun yang kita perbuat, bila kita sadar dan mau berjuang dari titik nadir, Insya Allah bisa menggapai impian.
Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan.
Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia dan tidak melanjutkan kuliah. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed.
Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.
Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah. Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.
Suatu hari, seorang teman menyarankan Bob memelihara dan berbisnis telur ayam negeri untuk melawan depresinya. Bob tertarik dan mulai mengembangkan usaha peternakan ayam. Ketika itu, di Indonesia, ayam kampung masih mendominasi pasar. Bob-lah yang pertama kali memperkenalkan ayam negeri beserta telurnya ke Indonesia. Bob menjual telur-telurnya dari pintu ke pintu.
Saat itu hanya orang-orang tertentu dan golongan ekspatriat yang membeli produknya, namun seraya telur ayam negeri mulai dikenal, bisnis Bob pun berkembang hingga sukses.

KISAH INSPIRATIF ORANG MISKIN MENJADI SUKSES

By Unknown | At Wednesday, October 23, 2013 | Label : | 0 Comments


                    Siapa yang tak kenal Profesor Rhenald Kasali Ph.d, Profesor Azyumardi Azra Ph.D dan Profesor Yohannes Surya Ph.D? Mereka telah terakui secara nasional, dan bahkan juga internasional, sebagai para pakar di bidang masing-masing. Siapa sangka bahwa ketiganya adalah orang-orang yang dulunya berasal dari kalangan tak mampu, miskin dan serba terbatas. Mereka beritiga mengaku pernah merasakan setiap hari makan nasi hanya ditemani garam, karena sulitnya hidup keluarga mereka.
Seorang Rhenald, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, harus melalui masa kecil dalam kondisi perekonomian keluarga sangat terbatas. Ia terbiasa berangkat sekolah sejak pukul setengah lima pagi untuk berlari-lari mengejar bis karena jarak rumah dan sekolah yang lumayan jauh. Ia juga pernah merasakan tak pernah bisa memakai sekolah baru, karena ibunya hanya sanggup membelikannya sepatu bekas. Ia juga pernah mengalami pahitnya tinggal kelas saat kelas lima SD. Namun semuanya tak mengurungkan niatnya yang sangat besar untuk terus sekolah. Hingga Ia mampu menamatkan SMA-nya. Berbekal uang sepuluh ribu rupiah, ia nekat membeli formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi. Saat diterima di UI, ia harus dihadapkan pada kesulitan bayar biaya kuliah. Dan ia harus bekerja keras untuk bisa membiayai sendiri kuliahnya serta berburu beasiswa. Minatnya tak berhenti saat ia mampu meraih gelar sarjananya. Ia kemudian berburu berbagai beasiswa untuk bisa meneruskan kuliah S2 dan S3 di Amerika Serikat. Dan tentu saja beragam kisah dan pengalaman unik mengiringi perjuangannya hingga ia mampu meraih gelar doktor di University of Illinois, Amerika Serikat.
Tak kalah seru kisah hidup Profesor Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Azyumardi yang besar di Padang ini, berayahkan seorang tukang kayu dan batu, dengan ibu seorang guru agama. Ia dekat dengan segala keterbatasan ekonomi. Namun visi dan misi yang besar terhadap pendidikan dari orang tuanya, mendorong Ia turut menggandrungi dunia sekolah. Ia bisa membaca sebelum sekolah, karena gemar memelototi nama bis yang lewat di jalan raya dekat rumahnya. Saat SMP dan SMA, ia harus rela membawa bekal lauk pauk untuk makan seminggu dari rumah ke kos karena keterbatasan uang dari orang tuanya. Ia juga mau bekerja serabutan di bengkel mobil, hingga jadi tukang jahit di sela-sela sekolahnya, untuk menambah uang saku. Dan kerja kerasnya terus berlanjut saat ia harus membiayai sendiri kuliahnya di Jakarta. Lulus menggondol ijazah S1, ia langsung memantapkan niat untuk melanjutkan ke S2 dan S3. Serupa seperti Rhenald, Ia rajin berburu beasiswa ke luar negeri dan sponsor dalam negeri untuk mendukung upayanya. Perjuangan keras dan berbagai kisah unik pun mengiringi perjalanan hidupnya saat ia diterima kuliah di Columbia University Amerika Serikat dan sekaligus harus menghidupi istrinya hingga meraih gelar doktor.
Dan beratnya hidup untuk bisa sekolah setinggi mungkin untuk keluar dari kemiskinan, juga dipikul oleh Profesor Yohannes Surya. Rektor Universitas Multimedia Nusantara sekaligus pakar ilmu fisika ini, sejak kecil sudah harus terbiasa bangun pukul 3 pagi untuk membantu sang ibu membuat kue dagangan. Ketertarikannya yang besar pada fisika, mata pelajaran momok bagi kebanyakan anak sekolah, justru menjadi kunci keberhasilannya kemudian. Saat lulus SMA, ia harus memutar otak untuk menyiasati biaya kuliahnya. Ia bersaing dengan banyak orang untuk masuk perguruan tinggi melalui PMDK, dan ia memilih jurusan yang paling sedikit diminati yaitu fisika. Klop sudah, perhitungannya benar dan ia melenggang masuk Universitas Indonesia. Tinggal kemudian ia harus berpikir keras untuk mencari uang untuk biaya kuliah. Dan kegemarannya pada fisika lagi-lagi menolongnya. Ia memanfaatkan kepintarannya untuk memberi les privat fisika pada anak-anak SMA serta membuat buku tentang fisika, di samping berburu beasiswa. Dan seperti dua koleganya di atas, penggagas dan ketua tim Olimpiade Fisika Indonesia ini pun juga sudah mewacanakan untuk bisa melanjutkan kuliah hingga S3 sejak jauh-jauh hari. Ia memiliki moto hidup Mestakung, atau Semesta Mendukung. Dan Mestakung inilah yang membuatnya mantap membuat paspor meski belum mendapatkan beasiswa di luar negeri. Apa sebenarnya konsep Mestakung itu? Dan apa saja kisah-kisah unik yang menyertainya saat kuliah di Physics Dept. College of William and Mary, Amerika Serikat dengan kemampuan bahasa Inggris pas-pasan namun mampu meraih gelar doktor dengan predikat Summa Cum Laude?
Banyak jalan menuju Roma, hal ini lah yang diyakini para nara sumber Kick Andy kali ini dalam mengejar mimpinya. Misalnya kisah Winarno, seorang anak yang lahir dari keluarga miskin. Ayahnya seorang informan polisi yang tidak lulus SD dan ibunya seorang tukang pijat yang buta huruf.
Masa sekolah dan kuliah Winarno identik dengan perjuangan keras, dari urusan biaya, fasilitas untuk bersekolah, hingga transfortasi yang cukup jauh. Satu prinsip kuat yang ia yakini saat itu adalah, kalau pintar pasti bisa berhasil. Maka ia pun memompa semangatnya untuk bisa meraih nilai tertinggi. Untuk urusan kuliah, ia menemukan taktik untuk bisa memperoleh sekolah gratis.
Dari seluruh perjuangannya, Winarno kini sudah meraih gelar professor untuk bidang ilmu dan teknologi pangan. Di usianya yang sudah berkepala tujuh, ia masih aktif sebagai Rektor di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta.
Kisah Basuki asal Sragen, lain lagi. Sejak kecil ia disibukan dengan urusan membantu perekonomian keluarga dari mulai jualan kantong plastik, semir sepatu, atau ngojek paying saat hujan. Kala itu keluarga mereka hijrah ke Ibukota untuk meningkatkan taraf hidup dan malangnya, tidak berhasil. PHK yang menimpa ayahnya, kemudian memaksa keluarga ini kembali ke kota asal mereka, Sragen.
Menjelang masa kuliah, Basuki mulai merambah usaha baru, yakni jadi loper koran. Jadi masa kuliah pun ia jalani sambil berjualan koran dan di waktu luang jadi pedagang asongan.
Pada Januari 2010 lalu, Basuki mendapatkan pengukuhan gelar Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia. Dan kini tercatat sebagai dosen di Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta.
Dari Yogakarta, ada kisah menarik milik Purwadi. Putra pasangan Ridjan dan Yatinem ini harus bekerja keras sejak kecil agar bisa meneruskan sekolahnya hingga ke bangku kuliah. Ayahnya seorang buruh tani dan ibunya yang penjual bakul sayur, tak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membiayainya.
Alhasil Purwadi harus pintar-pintar mencari cara. Masa kuliah ia berjualan kantung gandum, menjual majalah bekas, hingga memberi les gamelan. Untuk mengirit biaya buku dan makanan, ia memiliki trik trik khusus semasa kuliah. Perjuangan yang tak kenal lelah telah mengantar Purwadi meraih gelar Doktor Filsafat dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Anda mengenal Saldi Isra? Seorang Ahli Hukum Tata Negara yang cukup menonjol di tanah air. Di usianya yang ke 42 tahun, ia sudah menyandang gelar Profesor Doktor. Tahukah anda Saldi Isra lahir dari keluarga seperti apa?
“Orang tua saya petani yang buta hurup, dan masa sekolah saya harus dilakukan sambil membantu orang tua membajak sawah,” katanya saat tampil di Kick Andy.
Kisah yang penuh spirit juga hadir dari seorang dokter bedah syaraf kaliber dunia, Eka Julianta. Dokter yang telah berhasi melakukan banyak operasi otak dan batang otak ini, kini sering mendapat undangan untuk melakukan presentasi di berbagai Fakultas kedokteran dan symposium di berbagai Negara baik Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
Tapi tahukah anda, bahwa perjuangan Eka, untuk mengejar mimpi dan mewujudkan cita-citanya sebagai dokter, dimulai dengan membantu ibunya menumbuk singkong getuk, dan menjajakannya di sekolah. 

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua dan kita bisa menjadi orang yang bisa membahagiakan orang lain, terutama bagi kedua orang tua kita.......

Sekilas Perjalanan Kapten Timnas U19 - EVAN DIMAS

By Unknown | At Monday, October 14, 2013 | Label : | 0 Comments



Jalan yang harus dilalui kapten timnas Indonesia U-19, Evan Dimas, untuk menjadi pesepak bola sangat berliku. Lantaran kondisi perekonomian keluarganya yang pas-pasan, maka untuk membeli sepatu bola saja Evan Dimas hanya bisa menahan rasa iri.
Evan Dimas berasal dari keluarga yang bisa dikatakan kurang mampu. Ayahnya, Condro Darmono, hanya seorang petugas keamanan. Sedangkan ibunya, Ana, pernah menjadi seorang asisten rumah tangga dan sekarang menganggur.


Sebagai anak pertama, Evan memiliki tiga orang adik, dua di antaranya masih duduk di sekolah dasar. Sedangkan yang bungsu belum mencapai usia wajib sekolah. Namun dalam himpitan ekonomi, kedua orangtuanya tetap memberikan dukungan yang maksimal agar putra sulungnya bisa terus bermain sepak bola.
“Pernah ketika itu saya mau latihan, ibu saya pinjam sepeda motor sama orang, lalu diledek, ‘Makanya beli sepeda motor. Lalu ada orang kampung saya yang membela, ‘Jangan begitu. Semua ingin beli sepeda motor kalau punya (uang),” cerita Evan kepada Tribunnews.com.


Ket Photo: Kapten tim nasional Indonesia, Evan Dimas Darmono (6) meluapkan kegembiraan usai mencetak gol ke gawang timnas Thailand dalam pertandingan kualifikasi grup B AFF U-19 Championship 2013 di Gelora Delta Sidoarjo, Jatim, Senin (16/9). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Perkataan tersebut membuat Ana menangis dan Evan pun tidak tega melihat air matanya ibunya. Ana juga kerap menangis setiap kali melihat teman-teman Evan berangkat berlatih dengan mengendarai sepeda motor, namun kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinan untuk membeli sepeda motor. Evan pun hanya bisa terdiam dan tidak bisa meminta dibelikan.
Terkadang, untuk membeli kaus kaki saja Evan sampai berpikir ulang bagaimana cara meminta kepada Ana. Sang ibu bahkan sampai berpatungan dengan saudara-saudaranya untuk membelikan Evan sepasang sepatu sepak bola.


“Sepatu sepak bola pertama saya mereknya Diadora, harganya Rp15.000. Saya ingat dulu sepatu saya terlalu besar sehingga harus saya masukkan kain agar bisa pas. Umur sepatu itu tidak lama, kira-kira 3 minggu karena sepatunya sangat murah sehingga cepat rusak,” ungkap pemuda kelahiran 13 Maret 1995 tersebut.
“Terkadang saya iri lihat orang-orang yang bisa membeli sepatu baru untuk anaknya. Saya hanya berpikir kapan bisa membeli sepatu seperti itu, sedangkan ibu hanya jadi pembantu dan kadang berjualan kacang keliling kampung,” sambung Evan.
Evan dimas cukup memiliki prestasi mentereng. Dia adalah kapten Timnas U-17 saat menuarai HKFA International Youth Invitation Tournament di Hongkong Januari 2012 lalu dan sekarang menjadi kapten timnas u-19 yang sedang berlaga di turnamaen piala AFF U-19 Di jawa timur . ia tercatat sebagai pemain dari tim Surabaya Muda yang berlaga di kompetisi Divisi II U-21 PSSI. Selain itu, ia juga merupakan gelandang dari Tim PON Jatim untuk PON Riau 2012,evan dimas juga pernah terbang ke BARCELONA dan mendapat ilmu dari PEP GUARDIOLA pelatih FC BARCELONA saat itu.

Biodata Evan Dimas:


Nama Lengkap : Evan Dimas Darmono
Tempat Lahir : Surabaya
Tanggal Lahir : 13 Maret 1995
Berat : 54 kg
Tinggi : 163 cm
Kebangsaan : Indonesia
Posisi : Gelandang
Bermain : Persebaya & Timnas U-19
No punggung saat ini : 6
Anak dari : Condro Darmono dan Ana

berikut tambahan biodata & Beritanya:
copas dari sini:

Profil Biodata Foto Evan Dimas Timnas Indonesia – Satu lagi pemain muda sepakbola Indonesia yang bermasa depan cerah dan cemerlang. Dia adalah Evan Dimas. Dalam kompetisi piala AFF U-19 yang sedang digelar, Evan Dimas menunjukkan kemampuannya. Pada laga Indonesia melawan Thailand (16/9), kapten timnas Indonesia U-19 ini, mencetak hattrick yang menghantarkan kemenangan Indonesia 3-1 atas Thailand.

Kita sedikit bahas mengenai Profil Biodata Foto Evan Dimas Timnas Indonesia. Bernama Lengkap : Evan Dimas Darmono, Beliau Lahir di Surabaya pada Tanggal 13 Maret 1995. Evan Dimas bermain di Posisi Gelandang. Usia Evan Dimas memang masih 18 tahun, tapi kemampuannya tidak boleh dianggap sebelah mata. Evan Dimas, pemain asli Surabaya ini masuk dalam skuat sepakbola Jawa Timur (Jatim) yang diproyeksikan menuju ke Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII/2012 di Riau. Tak hanya masuk dalam skuad Jatim, namun pemuda yang satu ini juga berkesempatan berguru langsung kepada Josep ‘Pep’ Guardiola di Barcelona, karena berkat skill hebatnya, ia terpilih pada ajang bertajuk ‘The Chance Asia Tenggara’.

Evan Dimas adalah buah hati pasangan Condro Darmono dan Ana. Evan Dimas bukan dari keluarga berada. Ayahnya hanya seorang security. Evan Dimas mengaku, pertama kali tekun bermain sepakbola sejak kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Evan Dimas sempat menimba ilmu di SSB Sasana Bhakti (Sakti) bersama saudara sepupunya, Feri Ariawan.

Bakat Evan Dimas semakin terasah, ia bergabung dengan SSB Mitra Surabaya pada 2007, saat itu Evan masih berusia 12 tahun. Mitra Surabaya, salah satu klub yang berada dalam naungan kompetisi internal PSSI Surabaya, menjadi tim pertama yang dibela oleh Evan Dimas. Penampilan gemilangnya bersama Mitra, membuat nama Evan Dimas termasuk dalam skuad Surabaya untuk Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) III Jatim 2011.

Usai tampil mengesankan di Porprov, menjadi tiket Evan Dimas masuk dalam tim sepakbola Jatim untuk PON 2012 di Riau. Selain itu, Evan Dimas juga tercatat sebagai pemain tim Divisi II, Surabaya Muda. Tak hanya cemerlang di level lokal, pemilik nama lengkap Evan Dimas Darmono ini cukup dikenal di tingkat Nasional. Ia juga menyandang ban kapten Tim Nasional (Timnas) U-17 Indonesia, sekaligus sukses mengantar Garuda Muda menjuarai HKFA International Youth Invitation Tournamen di Hongkong, awal 2012.

Profil Biodata Foto Evan Dimas Timnas Indonesia

Pada Juni 2012. Evan Dimas terpilih sebagai wakil Indonesia dalam ajang pencarian bakat bertajuk ‘The Chance’. Ia pun akhirnya berhak terbang ke Barcelona, menyisihkan ratusan ribu pemain muda lainnya di Indonesia. Di Barcelona, Evan Dimas mendapat pelatihan dan arahan langsung dari eks pelatih Barcelona, Pep Guardiola. Evan Dimas bersaing dengan 100 anak dari 55 negara.

Selain Evan, tiga pemain yang terpilih dari Asia Tenggara lainnya adalah striker 24 tahun asal Malaysia Rahmat Che Hashim, gelandang 19 tahun dari Thailand, Napapon Sripratheep dan gelandang 20 tahun asal Singapura Muhammad Faris Bin Ramli.

Jauh sebelumnya, ibunda Evan Dimas, Ana sempat bercerita. Ibunda Evan Dimas masih ingat betul betapa kelimpungannya ia dan sang suami, Darmono, ketika anak sulung mereka yang saat itu berumur 9 tahun, Evan meminta sepatu bola. Maklum, mereka bukan orang berada, waktu itu Ana hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sedangkan Darmono berjualan sayur keliling sebelum beralih profesi menjadi petugas keamanan.

Ketika itu, Evan yang getol bermain sepakbola sejak usia tiga tahun memang sudah merengek minta didaftarkan ke Sekolah Sepak Bola Sasana Bhakti, Surabaya. Otomatis ia pun harus memiliki sepatu bola.

“Demi anak, kami akhirnya mengupayakan. Saya ke pasar dan membeli sepatu bola yang harganya Rp 20 ribu. Yang murah-murah saja wis, asal Evan senang,” kenang Ana yang bersama keluarga berdomisili di sebuah rumah sederhana di kawasan Ngemplak, Surabaya.

Sepatu tersebut ternyata tak cuma membuat Evan gembira. Tapi, sekaligus juga menandai awal perjuangan ia hingga bermuara kepada berbagai prestasi membanggakan. Misalnya, menjadi kapten timnas U-17 Indonesia yang sukses menjuarai HKFA International Youth Football Invitation Tournament 2012 dan sederet prestasi lainnya. Sayangnya, Evan Dimas termasuk dalam 48 pemain yang tersingkir dalam proses seleksi tahap pertama global final The Chance di Barcelona.

Di pertengahan September 2013 ini, Evan Dimas menjadi kapten Timnas U-19 untuk berlaga di ajang AFF Youth Championship 2013 yang saat ini sedang digelar.

Semoga Evan Dimas dan kawan-kawan bisa meraih hasil yang sempurna untuk meraih gelar Juara. Doa kami dari rakyat Indonesia!

Kisah Singkat Fatchur Rohman bek kiri timnas U-19

By Unknown | At Monday, October 14, 2013 | Label : | 0 Comments
Bangganya Saiful Si Pedagang Pakaian Keliling, Anaknya Harumkan 'Merah Putih'

M. Saiful (48) pernah tak mampu membelikan sepatu bola yang dimaui anaknya, Muhammad Fatchur Rohman, yang harganya "hanya" Rp 35 ribu. Kini, sang anak sudah memberinya kebanggaan karena turut mengharumkan "Merah Putih".

Saiful dan istrinya, Masturiah (38), mendadak ikut terkenal setelah timnas Indonesia menjuarai Piala AFF U-19, akhir pekan lalu, di mana anak mereka adalah satu satu penggawa skuat "Garuda Muda" tersebut. Ketika Fatchur mendapat libur dan pulang ke kampung halamannya, rumah mereka pun begitu ramai oleh kunjungan warga setempat.

Di rumah yang sederhana di Dusun Patuk Desa Gempol RT 2 RW 9, Kecamatan Gempol, Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (23/9) petang, keluarga Saiful sibuk menerima tamu yang ingin mendengarkan cerita pengalaman Rohman selama membela timnas .

"Saya tidak menyangka anak saya ini bisa mengharumkan nama bangsa Indonesia. Tahu sendiri ‘kan, Mas, kondisi rumah kami ya seperti ini," tutur Saiful saat berbincang-bincang dengan detiksport.

Diceritakan laki-laki yang bekerja sebagai penjual pakaian keliling itu, Fatchur sudah dari kecil menyukai sepakbola. Saking sukanya, anak kedua dari tiga bersaudara itu sempat meminta dibelikan sepatu bola, yang sayangnya tak disanggupi oleh orangtuanya, karena keterbatasan uang.

"Waktu kelas 4 SD dia minta dibelikan sepatu bola, harganya Rp 35 ribu. Tapi saya tak bisa, Mas, tidak punya uang. Tapi dia tidak putus asa dan tetap latihan dengan sepatu lama tapi jahitannya sudahrusak," tutur Saiful dengan mata yang berkaca-kaca.

"Saya sempat lihat, anak saya itu berangkat latihan sambil menangis, karena kondisi sepatunya sudah jelek begitu. Saya tidak tega, Mas. Makanya tiap hari saya nyelengi (menabung) 3 ribu rupiah dari hasil berjualan pakaian.

Fatchur, yang menyukai bek kiri Barcelona Jordi Alba, adalah algojo pertama timnas dalam drama adu penalti di final melawan Vietnam hari Minggu (22/9) lalu, dan berhasil memasukkan bola ke gawang lawan.


Ketika Anak Petani Jadi Punggawa Timnas U-19

By Unknown | At Monday, October 14, 2013 | Label : | 0 Comments


KITA patut bangga sekaligus bahagia dengan apa yang telah ditorehkan anak-anak Garuda Jaya pada ajang Piala AFF U-19 di Sidoarjo, Jawa Timur, sepekan lalu.

Prestasi yang mereka capai setelah melakoni pertandingan demi pertandingan yang sangat dramatis itu hingga sukses menjadi juara di babak pamungkas benar-benar sangat luar biasa.

Prestasi membanggakan ini tidak saja menghapus puasa gelar Indonesia selama ini dalam ajang sepak bola, tetapi cukup menghibur seluruh bangsa yang "stress" dihantam berbagai macam kasus yang membingungkan.

Semoga saja, prestasi yang dipelopori tim Garuda Jaya U-19 ini menjadi cikal bakal bangkitnya persepakbolaan Indonesia yang semoga bisa merembet pada budaya bangsa. Dan, tentunya, raihan prestasi bangsa dan negara, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata penduduk global.

Ajaib!
Kemenangan ini benar-benar ajaib. Bagaimana tidak, sebagian besar publik mungkin tidak begitu punya harapan bahwa Timnas akan menjadi juara, meski di kandang sendiri.

Kondisi tersebut terbilang wajar saja, mengingat selama ini sepakbola dalam negeri lebih populer dengan huru-hara ketimbang prestasi.

Selain itu, ulah beberapa pemain Timnas senior juga cukup memprihatinkan. Ada yang salah pergaulan, hingga berurusan dengan hukum yang mengharuskan polisi turun tangan. Tetapi, Alhamdulillah, tidak demikian untuk anak-anak Garuda Jaya Timnas U-19.

Mereka nampak lebih kompak, bertanggung jawab, dan yang paling mengharukan, mereka selalu mengakhiri selebrasi usai mencetak gol dengan sujud syukur.

Bahkan, dalam drama adu penalti pun, sujud syukur ini tak pernah terlewatkan. Suatu bukti bahwa mereka tidak melupakan Tuhan yang menganugerahi mereka kesehatan, harapan, dan tentunya keberhasilan.

Selain punya spirit bermain yang membara, mereka juga punya tradisi luhur yang baik di dalam keluarga. Satu di antaranya kita bisa lihat pada Muhammad Syahrul Kurniawan. Pemain asal Ngawi, Jawa Timur, itu benar-benar mengesankan, baik ketika di lapangan maupun di luar lapangan.

Saya benar-benar bangga dengan pemain yang pantang menyerah dan sangat santun ini. Dalam sebuah tayangan live di sebuah televisi swasta dalam negeri, Syahrul Kurniawan terlihat begitu berwibawa dan nampak sangat santun kepada orangtua.

Kalimat demi kalimat yang diucapkan Muhammad Syahrul pun sangat mengesankan. Tidak panjang, tetapi sangat padat dengan aroma spirit dan keyakinan.

Selain itu, pemuda 18 tahun itu juga terlihat sangat perhatian kepada sang ayah, Nyartomo, yang berpenghasilan sebagai buruh tani. Nampak secara jelas, Syahrul tidak masalah duduk berdua dengan sang ayah di depan kamera. Ini sungguh suatu kebanggaan yang luar biasa.

Lebih ajaib lagi, ternyata Syahrul tidak begitu saja mampu tampil sebagai pemain hebat di usianya. Ia harus melalui berbagai macam tantangan, rintangan, dan kesulitan. Dalam acara live tersebut sang ayah bercerita bahwa banyak sekali cobaannya. Mulai dari jarak, transportasi, termasuk sepatu.

Bahkan, sebuah media mengabarkan tidak jarang Syahrul harus merelakan sepatunya robek setiap kali usai latihan main bola di Sekolah Sepak Bola (SSB) tempatnya menempa diri.

Tapi Syahrul memang memiliki jiwa besar sejak belia. Sekalipun berat hati, ia tetap harus menegarkan jiwa, bahwa sepatu yang robek ini harus tetap dipertahankan dengan cara dijahitkan. Bukan apa-apa, kebutuhan lain belum memungkinkan Syahrul memiliki sepatu bola berkualitas. Ketika mengingat kejadian ini, Ibunda dari Syahrul tak kuasa menahan air mata.

Ini adalah keajaiban yang sangat memukau. Karena Syahrul termasuk pemuda yang tidak umum untuk hitungan anak muda zaman sekarang yang umumnya gampang nyerah, suka hal-hal yang sia-sia, dan hidup hanya untuk menjadi pemuja mode, terutama mereka yang hidup dalam kecukupan, tapi kurang perhatian orang tua.

Hadirnya sosok Syahrul ini penting untuk dijadikan cerminan oleh seluruh pemuda bangsa, agar tetap teguh hati, lapang dada, optimis dan tentunya sabar dalam meraih prestasi. Siapa yang mampu mengamalkan empat hal tadi, insya Allah keajaiban prestasi bukan lagi mimpi.

Kini Syahrul yang tadinya bukan siapa-siapa telah menjadi sosok populer di dalam negeri. Spiritnya yang luar biasa dalam bermain menjadikannya counterback favorit sang pelatih Indra Syafril.

Tapi, ini belum selesai Syahrul! Masih ada tantangan lebih besar yang harus dihadapi. Teguhkan hatimu dan lebih giatlah berlatih serta raihlah keajaiban-keajaiban yang lebih membanggakan, untuk bangsa dan negara.

Mimpi yang Terbukti
Itulah sepenggal kisah indah nan ajaib yang menyelimuti negeri dalam dua pekan ini. Tetapi, kalau dikilas balik, apa yang terjadi sebagai keajaiban dua pekan lalu berangkat dari sebuah mimpi yang menghujam dalam hati, doa dan upaya, serta perjalanan waktu yang mengharuskan air mata membasahi pipi.

Itulah yang disampaikan ayah dari Syahrul. Dengan kepolosannya, beliau mengatakan bahwa, ketika lahir, kala itu Indonesia lagi ramai-ramainya membahas nama Kurniawan, salah seorang punggawa pemain Timnas kala itu. Dengan harapan tulus nan murni, beliau pun memberikan nama untuk anak bungsunya itu Muhammad Syahrul Kurniawan.

Harapan dari nama tersebut, kelak, ketika dewasa Syahrul bisa menjadi pemain bintang sepak bola Indonesia seperti Kurniawan. Dan, seperti kita ketahui bersama, 18 tahun kemudian mimpi dari Bapak Nyartomo itu ternyata terealisasi. Sekali lagi, kisah mimpi yang terbukti tersaji untuk kita renungi dan resapi.

Lebih dari sekedar mimpi sanga ayah, spirit prestasi itu ternyata mengalir dalam darah bahkan sistim kesadaran Syahrul sendiri. Bagaimana tidak, ia tumbuh dengan kedewasaan yang sangat baik. Ia memiliki kelapangan dada dalam menghadapi kenyataan hidup. Ia memiliki semangat dalam kondisi yang tidak memungkinkan. Bahkan ia tetap dalam koridor keimanan meski ujian dan cobaan seolah tak pernah jauh dari kehidupannya.

Atas peristiwa ini, saya teringat dengan apa yang disampaikan Andrea Hirata bahwa bermimpilah, sebab Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu dan pada saatnya Tuhan akan menganugerahkannya dalam sebuah kenyataan kehidupan sebagai hadiah terindah dari teguhnya iman dan keyakinan akan pertolongan-Nya yang pasti akan datang.

Jadi, jangan takut bermimpi, buatlah mimpi sekarang juga, dan dekatilah Tuhanmu dengan semangat iman dan takwa, dan selalulah bersujud merendahkan diri kepada-Nya.

Setelah datang ujian dari Tuhan dan kita mampu bertahan, Insya Allah, keajaiban mimpi akan terbukti akan segera terealisasi.*

Muchlis tidak pernah malu memakai sepatu produksi keluarga sendiri

By Unknown | At Monday, October 14, 2013 | Label : | 0 Comments

Keterbatasan finansial tidak menghalangi niat Muchlis Hadi Ning Syaifullah untuk berprestasi di level internasional. Mengawali karir sebagai pesepakbola dengan seadanya, Muchlis pun kini menjadi pilar tim nasional Indonesia U-19 yang lolos ke putaran final Piala Asia 2014 di Myanmar.

Semasa kecilnya, Muchlis harus rela dilatih oleh orang tua sendiri lantaran tidak mampu membayar biaya masuk mengikuti Sekolah Sepak Bola (SSB). Keterbatasan dana membuat Muchlis kecil sehari-hari hanya berlatih di bawah pengawasan sang ayah, Samsul Hadi.

“Biaya masuk SSB memang mahal saat itu untuk ukuran kami, Sehingga tidak semua bisa masuk SSB bagus, termasuk anak saya. Tidak seperti rekan-rekannya yang lebih mampu, yang bisa berlatih di SSB berkualitas yang ada di Surabaya maupun Malang,” buka Samsul kepada Goal Indonesia.

Namun niatan kuat anak pertama dari dua bersaudara buah pasangan Samsul dan Sulifah ini menemui hasil positif kala dipanggil masuk timnas U-19 di bawah kendali pelatih Indra Sjafri. Bahkan, pemain kelahiran 26 Oktober 1996 itu menjadi salah satu pilar utama skuat Garuda Jaya kala menjuarai Piala AFF 2013, dan meloloskan tim ke Myanmar.

“Sejak SD [Sekolah Dasar] saya sudah melihat anak saya memang punya talenta bermain sepakbola. Saya yakin saat itu, anak saya bakal menjadi pemain bagus. Karena tak mampu di SSB Surabaya atau Malang, saya didik sendiri di kampung," ceritanya.

Samsul sendiri bukan asal-asalan dalam melatih Muchlis kecil, karena ia sebelumnya adalah mantan stopper tim Assyabab Surabaya, satu angkatan dengan Mustaqim dan Putut Wijanarko. Berbekal ilmu sebagai pemain bola inilah, Samsul lantas menempa Muchlis cara menggocek, menendang, menyundul, serta mengontrol bola.

Namun menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama, Samsul sadar Muchlis memang butuh masuk SSB untuk meningkatkan pengalamannya. Namun lagi-lagi Samsul menemui kendala dalam mendukung kiprah Muchlis, lantaran pada saat itu ia tidak bisa membelikan sang anak sepatu berkualitas.



“Sore ia latihan di SSB Sinar Mas. Sebelum latihan ke SSB, dia latihan fisik dulu di rumah. Tapi saat itu ia bermain bola dengan sepatu seadanya. Sebab dulu harga sepatu [berkualitas] sangat mahal. Tapi Muchlis tak malu memakai sepatu buatan keluarga sendiri, dia pun tak pernah berhenti berlatih,” beber Samsul.

Selepas sebagai pemain, Samsul memang menekuni bisnis berjualan sepatu usaha sendiri bersama warga Desa Blimbingsari, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, yang ia pasarkan dari kampung ke kampung. Tapi sifat telaten, dan mau bekerja keras yang akhirnya membuat pemilik nomor punggung 10 tersebut menapaki jalan menuju kesuksesan.

Memasuki usia di bawah 13 tahun, ia terpilih masuk dalam seleksi Pengcab PSSI Mojokerto yang lantas berlanjut ke tingkat Provinsi, hingga menjuarai Piala Yamaha U-13 di Vietnam. Selepas itu, Muchlis kemudian bergabung di Persebaya U-14, kemudian pindah ke klub Domhil Malang untuk U-15.

Talenta Muchlis akhirnya terpantau Pengcab PSSI Malang, yang kemudian memberikan rekomendasi kepadanya untuk bergabung dengan klub Banteng Muda di U-16. Setelah itu, ia memutuskan hijrah ke Pasuruan bergabung dengan Persekap sampai saat ini.

“Program Nasional saat mencari bibit-bibit muda membuat Muchlis terpilih untuk mengikuti seleksi, dan akhirnya masuk menjadi bagian pemain yang dibawa ke Hongkong U-17, yang saat itu sukses menjadi juara. Selesai di sana, ia kemudian ditawari untuk mengikuti seleksi untuk timnas U-19,” kenang Samsul.

“Makanya, nama panjang Muchlis saya tambahkan Ning Syaifullah. Sebab Ning Syaifullah itu, mantan pemain terkenal Petrokimia Gresik yang hebat

Paulo Oktavianus Sitanggang, Pembawa Spirit Batak di Timnas U-19

By Unknown | At Monday, October 14, 2013 | Label : | 0 Comments
 


Dari namanya saja, sudah jelas jika Paulo memiliki garis keturunan Batak. Seperti orang Batak pada umumnya pula, Paulo memikul beban untuk mengharumkan nama marga.
Paulo merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Meski bukan yang tertua, Paulo merupakan anak pria tertua di dalam keluarganya. Sudah pasti jika pemuda 17 tahun itu menjadi penerus marga Sitanggang.
"Justru ini menjadi motivasi bagi saya. Apalagi sedikit orang Batak yang jadi pemain sepak bola, jumlahnya bisa dihitung pakai jari. Semua anggota keluarga pun mendukung keinginan saya," kata Paulo yang mengaku jomblo.
Mengenai mimpinya, dalam waktu dekat dia ingin mendapatkan klub agar bisa menjadi pemain profesional. Setelah itu Paulo ingin bisa mendapatkan kesempatan membela timnas senior. "Kalau Tuhan mengijinkan, saya ingin seperti (Radja) Nainggolan. Kalau ada kesempatan main di luar negeri, kenapa tidak," tutur Paulo 
Paulo sadar agar bisa menjadi pemain profesional, apalagi bermain di luar negeri, dia harus merelakan kesempatannya bertemu dengan keluarga karena keterbatasan jarak.
"Saya tidak takut jauh dari keluarga. Buktinya saja sejak kelas 2 SMA saya sudah merantau ke Jember. Pasti saya bisa," ujar Paulo.
"Lagipula di Medan saya hanya menyusahkan orang tua karena bandel, sering bolos masuk sekolah," tutur pemuda yang sudah 1 tahun 10 bulan merantau ke Jember itu. Kedewasaan yang ditunjukkan dari Paulo tidak hanya tercermin dari kepeduliannya terhadap orang tua, tapi juga rasa penuh syukur yang selalu dia ucapkan kepada Tuhan.
"Saya main bola dari kelas 4 SD. Awalnya dari ikut-ikut teman lalu masuk SSB. Sekarang saya bisa sampai seperti ini, puji Tuhan. Saya juga tidak menyangka," ujar pemuda berusia 17 tahun tersebut.
Menurut Pelatih Indra Sjafri, punggawa asal klub Jember United tersebut memiliki ragam keistimewaan yang dijamin bisa merepotkan barisan pertahanan lawan. Kemampuannya dalam menghadapi duel satu lawan satu, menjadi titik keunggulan tersendiri.
Selain itu, Paulo juga mampu beroperasi di beberapa area alias multifungsi, baik sebagai winger, penyerang sayap maupun penyerang lubang. Bahkan, jika diperlukan, sang pemain akan berubah menjadi striker dengan akselerasi tinggi.

Kisah Dramatis Yabes Roni Malaifani Sebelum Bergabung Timnas Indonesia U19

By Unknown | At Monday, October 14, 2013 | Label : | 0 Comments



Punggawa Timnas Indonesia U19, Yabes Roni Malaifani langsung menjadi buah bibir usai menjalani debutnya di Stadion Utama Gelora Bung Karno melawan Filipina.
Meski hanya tampil sebagai pemain pengganti, namun pemuda asal Alor itu sukses mencetak gol untuk menggandakan keunggulan Indonesia 2-0.
Yabes yang masuk di menit ke-70 menggantikan Dinan Javier, sukses merobek jala Filipina 15 menit kemudian setelah memanfaatkan umpan terobosan dari Paulo Sitanggang.
Momen ini mungkin tidak akan pernah dilupakan oleh Yabes, sebab memperkuat tim Merah Putih bukanlah hal yang dengan mudah didapatnya.
Yabes sempat menceritakan bagaimana beratnya perjuangan yang harus dilalui, sebelum akhirnya terpilih masuk skuad Timnas Indonesia U-19.
Lahir di Moro Alor 6 Februari 1995, Yabes harus menempuh perjalanan menggunakan angkot selama 1 jam untuk mengasah kemampuan sepakbolanya.
Meski hanya bergabung di klub kampung, namun semangat sulung dua bersaudara tersebut tidak pernah memudar.
Yabes sendiri mengaku kalau bakatnya pertama kali ditemukan oleh sang pelatih, Indra Sjafri pada pertengahan Juni 2013 lalu.
Saat itu Indra sedang berkeliling Indonesia mencari pemain yang akan diplot memperkuat Indonesia di Piala AFF dan AFC Cup U-19.
Indra lalu membuka proses seleksi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mendengar kabar tersebut, Yabes yang saat itu baru berusia 18 tahun memutuskan untuk terbang ke lokasi seleksi.
Sayangnya saat hendak berangkat pada 10 Juni 2013, Yabes mendapat kabar kalau sebuah pesawat tergelincir di bandara El Tari. Akibatnya seluruh jadwal penerbangan tertunda.
Situasi itu membuat Yabes kuatir, apalagi proses seleksi yang dilakukan Indra dan staff pelatih akan berakhir sore harinya.
“Saya kemudian menelepon coach Indra menyampaikan kondisi saya. Coach Indra lalu memundurkan jadwal kepulangannya”
“Saya pun diberi kesempatan untuk seleksi keesokan harinya. Akhirnya saya lolos bersama empat orang teman saya. Setelah itu baru mengikuti seleksi di Yogyakarta” kenang Yabes seperti yang dilansir Viva.
Yabes juga menuturkan saat mengikuti seleksi di Yogyakarta, dirinya sering dimarahi oleh para pelatih karena terus menerus melakukan kesalahan.
Tapi hal itu tidak membuatnya berkecil hati dan terus berusaha agar menjadi pemain yang lebih baik lagi.
“Hasilnya saya lolos seorang diri, teman-teman saya yang berasal dari NTT tidak lolos semua. Saya lolos seorang diri, bangga sekali” tambahnya.
Meski lolos seleksi Yabes harus menunda keinginannya untuk berkostum Merah Putih, pasalnya pada Piala AFF U-19 lalu Indra tidak menyertakan namanya dalam susunan pemain Garuda Jaya.
Asa Yabes baru tercapai saat Indra kembali menggelar seleksi untuk kualifikasi Piala Asia U-19 dan mendapat kesempatan tampil saat bertemu Filipina

Kisah Ravi Murdianto Menjadi Kiper Andalan Timnas U-19

By Unknown | At Monday, October 14, 2013 | Label : | 0 Comments

 
Ravi Murdianto tiba-tiba tenar seantero Indonesia. Ketangguhannya dalam menjaga mistar gawang Timnas Indonesia U-19, mampu mengantarkan Garuda Jaya menjuarai Piala AFF di Stadion Gelora Sidoarjo, Minggu (22/9) lalu.

Bukan tanpa perjuangan ringan, pemuda yang dibesarkan di Desa Tegowanu Kulon Rt10 Rw01 ini bisa menjadi kiper Timnas U-19. Butuh kerja keras, Disiplin dan butuh perjuangan, serta pengorbanan.

Puluhan tetangga dan sanak saudaranya juga silih berganti berdatangan. Para tetangga ini datang untuk mengucapkan selamat atas kesuksesannya mengantarkan Timnas Indonesia U-19 menjuari Piala AFF.

Selain mengucapkan selamat, mereka juga rebutan untuk minta foto bersama, bahkan tak jarang tegangganya yang kebanyakan Ibu-ibu itu menciumi pipi Ravi. Dengan mengenakan kaus Timnas Brasil dan celana pendek putih serta kalung medali Piala AFF, Ravi dengan sabar melayani tetangganya yang minta foto bersama. "Yang jelas bangga, bisa mempersembahkan prestasi bagi Indonesia," ujar remaja kelahiran Grobogan 5 Januari 1995 ini.

Ravi memang sejak kecil suka dengan sepak bola. Sejak kelas dua Sekolah Dasar (SD), Dia sudah belajar sepak bola bersama dengan SSB Putra Bersemi di Kecamatan Tegowano. Saat itu, dia tidak menjadi seorang kiper melainkan gelandang dan striker.

Namun, sejak kelas IV, dirinya kemudian pindah posisi menjadi kiper. Postur tubuhnya yang cukup tinggi menjadi faktornya. Di bawah arahan pelatih Erwin, Ravi kecil mulai belajar menangkap bola.

Melihat kemampuan Ravi yang terus berkembang, setelah kelas VI SD Ibunda Ravi Murminah kemudian memindahkan Ravi ke SSB Tugumuda Semarang supaya mendapatkan pelatihan yang lebih baik.

Langkah tersebut, cukup sukses, saat kelas 2 SMP, Ravi berhasil lolos seleksi Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pelajar (PPLP) Jateng atau sering disebut diklat Salatiga. Di Salatiga, kemampuannya terus diasah, refleknya semakin baik. Dua tahun kemudian atau tepatnya ketika kelas dua SMA Ravi ditarik untuk masuk ke Diklat Ragunan.

''Waktu itu ada senior saya namanya Yosep, yang memberikan informasi kepada pelatih Diklat ragunan kalau di Diklat Salatiga ada kiper. Dari situ saya diminta mengirim identitas, dan akhirnya bisa masuk ke diklat Ragunan," kenangnya.

Dari Diklat Ragunan nama Ravi Murdianto semakin moncer. Dia lolos seleksi masuk timnas U-17, U-18 dan U-19. Di bawah bendera Timnas U-17, dia mengantarkan Indonesia menjuarai turnamen pelajar di Hongkong.

Sedangkan untuk Timnas U-18 peringkat lima turnamen pelajar di Iran. Ravi menambahkan, meski saat ini belum memiliki klub, namun dirinya belum memikirkan masa depannya di dunia sepak bola Indonesia. Dia memilih fokus dulu untuk timnas U-19, yang akan berlaga dalam ajang Piala AFC yang akan digelar 8 Oktober mendatang di Surabaya."Belum memikirkan ke arah situ (mencari klub), karena Saya mau fokus dulu ke Timnas," tambahnya.

Ravi mengaku, memiliki pengalaman yang tak akan pernah dilupakan selama belajar sepak bola. Pengalaman itu yakni, dirinya pernah berjalan kaki dari Terminal Penggaron Semarang menuju rumahnya di Tegowanu yang jaraknya lebih dari 20 km.

Kejadian itu membuat keluarganya panik, karena sampai jam 21.00 Ravi tidak kunjung sampai rumah. Sang ayah pun berusaha menjemput Ravi, langsung ke Stadion Sidodadi yang menjadi markas SSB Tugumuda, namun tidak ketemu. Beruntung saat perjalanan pulang Sang Ayah bertemu dengan Ravi yang sedang istirahat di Masjid Mranggen.

"Waktu itu kemalaman, dan tidak ada bus. Karena waktu itu belum punya handphone jadi tidak bisa memberikan kabar ke orang tua, akhirnya saya pilih jalan kaki,"kenangnya.

Ravi mengungkapkan, prestasi yang diraihnya saat ini selain dipersembahkan untuk Indonesia, tetapi juga untuk kedua orang tuanya Murminah,47, dan Hery Supriyanto, 48. Kedua orang tuanya memberikan kontribusi besar dalam karirnya di sepak bola. Perjuangan dan dukunganya tidak akan pernah Dia lupakan.

"Perjuangan orang tua saya sangat besar, setiap hari mengantarkan saya latihan, membiayai selama latihan,"ujar kiper yang mengidolakan Gianluigi Buffon dan Ferry Rotinsulu ini.

Diakui sang Ibu Murminah, untuk menyekolahkan sepak bola Ravi keluarganya harus kerja keras. Bahkan tidak jarang utang sana-sini supaya anaknya bisa terus mengasah kemampuannya. Karena sering utang, Murminah kerap mendapakan cibiran dari orang lain. Namun, cibiran itu tak pernah ditanggapinya. Dia hanya berpikir bisa menyalurkan bakat dan hobi anaknya.

Murminah yang sehari-hari bekerja menjual nasi di warung kecil di sebelah Pos Ojek Tajemsari Tegowanu ini menceritakan, dirinya bahkan sampai menjual tanah untuk biaya pindah sekolah ke Salatiga dan biaya Uang Gedung sekolah."Banyak yang bilang, untuk apa utang sana-sini cuma untuk sekolah sepak bola. Tapi namanya Orang tua yang penting saya bisa menyalurkan bakat dan hobi anak,"ujar Murminah.

Menceritakan pahit getirnya selama membesarkan Ravi hingga menjadi seorang kiper yang cukup tangguh dan mampu membawa harum nama Bangsa Indonesia melalui Sepakbola, tanpa sadar Murminah menitikan air mata. "Saya selalu menangis kalau mengenang semuanya," ujarnya sembari mengusap air matanya.

Kala Ravi sangat terkenal bak artis Ibu kota, Murminah berpesan kepada anaknya supaya tetap menjaga berlaku santun, sederhana, menghormati orang tua, menghormati orang yang lebih tua dan taat beribadah. "Sebagai orang tua tentu mendoakan yang terbaik, Ravi bisa terus memberikan prestasi kepada Indonesia dan membawa nama baik keluarga
◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Template information

Copyright © 2012. Memotivasi diri sendiri dan orang lain - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz