Sobat,
pada malam hari ketika saya sedang browsing, tiba-tiba terlintas di benak saya
untuk mengunjungi situs ayomasukui.com, disana saya menemukan sebuah kisah
klasik menarik, menginspirasi, dan memotivasi. Yuk langsung simak kisahnya :)
Terkadang
orang sering menilai dari apa yang mereka lihat di luar tanpa mereka pernah
tahu bagaimana seseorang menjalani kehidupannya. Sesaat mereka melihatku
sebagai orang yang beruntung. Hidup berkecukupan dengan keluarga bahagia,
mendapatkan apa yang ku… inginkan, bisa meneruskan usaha orang tua hingga
dengan mudahnya berkuliah di universitas terbaik di negeri ini, Universitas
Indonesia. Mungkin mereka melihat hidupku seperti tanpa usaha, seperti tanpa
beban, begitu ringan berjalan sesuka kaki ini melangkah, begitu mudah melompat
dan hap! Semua bisa kudapatkan begitu mudah.
Andai
saja penglihatan mereka benar. Betapa senangnya hidupku, betapa bahagia aku
menjalaninya. Tapi mereka salah, kawan.. Ya, hidupku tak semudah prolog yang ku
tuliskan. Karena kegagalan demi kegagalan yang ku alami, sangat berat menurutku
untuk usia dan posisiku saat itu. Aku bahkan harus rela menyimpan – bukan
membuang – impianku untuk menjadi mahasiswa. Meredakan egoku yang terlanjur
menggebu. Kegagalan yang kualami, bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali.
Mungkin
kau belum merasakan betapa sakitnya melihat tulisan “Maaf Anda tidak diterima
untuk jurusan pilihan Anda” di setiap universitas yang kau datangi dan
menyadari bahwa pemberitahuan itu untukmu. Aku telah merasakannya kawan, hingga
akhirnya aku diterima di jurusan Farmasi sebuah universitas negeri di Solo.
Tapi jurusan itu bukan minatku. Itu adalah pilihan membabi-buta ditengah
kekalutan yang menghantuiku. Akhirnya ku lepas kesempatan itu, karena aku tidak
mau menuruti egoku yang hanya ingin mempunyai status mahasiswa tanpa tahu apa
tujuan menjadi mahasiswa sebenarnya. Lagipula aku tidak mau membuang-buang uang
hanya untuk sesuatu yang tidak kuminati.
Aku
memutuskan untuk membantu usaha ibu di kotaku, Madiun. Kemudian aku ditawari
untuk mengasah bakatku di sebuah sekolah informal di Surabaya. Sesaat aku lupa
tentang impianku untuk kuliah. Aku tenggelam dalam dunia baruku. Mengacuhkan
teman-temanku yang sering mencibir, mengatakan seharusnya dari awal aku masuk
sekolah SMK bukan di SMA negeri. Tak kuindahkan kata-kata mereka, aku terlalu
girang dengan hal baru yang ku pelajari di sekolah tersebut. Hingga enam bulan
kemudian, sebuah tawaran datang dari pihak sekolah agar aku merampungkan
studiku di Jakarta, dengan harapan aku bisa lebih mengembangkan bakatku tanpa
tambahan biaya. Hanya perlu keberanian dan ridho orangtua untuk itu.
Hidup
memang pilihan dan inilah pilihan hidupku. aku memutuskan untuk menuntut ilmu
nonformal di kota besar. Merantau seorang diri untuk menemukan apa yang ku cari
dalam tujuan hidupku. Menjalani hari-hari di sana dan menemukan dunia yang
membuatku terlena. Aku lupa tentang mimpi terbesarku, menjadi mahasiswa. Hingga
dua tahun kemudian, saat aku sedang menjalani persiapan untuk kelulusanku, ada
satu hal yang masih mengganjal di hatiku. Ada sesuatu yang selalu menghantuiku.
Pertanyaan tentang masa depan. Rasanya apa yang kudapatkan di sekolah nonformal
tersebut hanya sebuah keterampilan untuk bertahan hidup. Sedangkan pikiran,
gagasan, dan pengetahuanku hanya dalam satu lingkup saja. Aku merasa sangat
kurang dalam hal ini. Dan itulah sebabnya aku memutuskan untuk kuliah.
Awalnya
aku memilih universitas swasta agar aku bisa tetap berada di Jakarta. Tapi atas
saran temanku, yang juga alumni Universitas Indonesia, aku mendaftarkan diri—di
hari-hari terakhir. Bukan karena aku tidak ingin, tapi karena aku tidak berani.
Asal kalian tahu, dulu saat aku mecoba mendaftar ke beberapa universitas negeri
di Jawa, hanya UI yang tidak kucoba. Nyaliku langsung menciut saat mendengar
UI, apalagi memasukinya. Siapa aku sehingga pantas bermimpi masuk UI, jadi
juara kelas saja aku tidak pernah, bagaimana bisa mengikuti olimpiade sains di
sekolah, apalagi aku sudah terlambat dua tahun, semua pelajaran sekolah sudah
mengendap di otakku. Menurut pandanganku. UI hanya untuk anak-anak pintar yang
selalu berprestasi di sekolah.
Akhirnya
disinilah sekarang aku berada, di tempat yang tidak pernah kubayangkan, memakai
almamater yang tidak berani kuinginkan. Menjadi bagian dari keluarga besar UI,
sebuah kata yang tidak pernah berani melintas di benakku. Kawan. Aku tidak
pernah berharap kalian merasakan apa yang kurasakan, aku hanya ingin kalian
tahu. Bahwa mimpi yang tak bisa kalian jawab, pasti akan terjawab, walau sering
tidak sama sedikitpun dengan cara yang diharapkan. Tapi yakinlah, Tuhan selalu
punya rencana indah di setiap pilihan yang kau ambil. Jangan takut gagal karena
yang dibutuhkan seseorang untuk mimpi-mimpinya hanyalah percaya. Jangan pernah
takut mencoba karena kau tidak akan pernah tahu sebelum kau mecobanya.
Rahmatia
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya