By Unknown | At Wednesday, September 25, 2013 | Label :
KIsah Inspiratif
| 0 Comments
Pertama, beliau ini aktif shalat berjamaah di mushalla
Baiturrohiim. Beliau selalu menempati tempat yang tetap, di shaft
pertama ujung sebelah kiri. Kedua, beliau selalu menjadi jamaah
yang pertama hadir untuk shalat Subuh. Suara merdunyalah yang pertama
kali terdengar melantunkan shalawat dari pengeras suara mushalla yang
terletak di sisi jalan yang memisahkan RT 02 dan RT 04 ini. Dan
beliaulah yang lebih sering mengumandangkan azan subuh, baru kemudian
yang lain datang, termasuk aku. Hanya itu? Tidak! Pak Didi terasa lebih istimewa, karena beliau kini hanya memiliki empat indera.
Kecelakaan kerja beberapa tahun silam telah membuat indera
penglihatan pak Didi tidak berfungsi lagi. Secara fisik, mata beliau
tidak mengalami cacat, hanya saja keduanya kini sudah tidak bisa melihat
sama sekali. Jika pak Didi selalu menempati tempat favoritnya di shaft
pertama sebelah kiri, ini wajar sebab beliau selalu datang dari pintu
sebelah kiri, kemudian menyusuri tembok dan akan berhenti ketika
tangannya sudah menyentuh tembok depan. Semua jamaah mushalla sudah tahu
akan hal itu, dan tak pernah ada yang mencoba menempati tempat ‘eksklusif’ Pak Didi.
Saat datang untuk shalat Maghrib, aku sering melihat Pak Didi diantar
oleh cucu laki-laki dan sesekali oleh cucu perempuannya yang baru
berusia belasan tahun. Usai shalat Maghrib, pak Didi lebih sering tetap
berada di tempatnya, berdzikir dan mendengarkan jamaah lain mengaji.
Usai shalat Isya, biasanya sang istri sudah menunggu di depan pintu
mushalla.
Lalu, bagaimana cara beliau mendatangi mushalla untuk shalat subuh
ketika belum satu pun jamaah lainnya hadir di mushalla ini? Aku tak
pernah tahu. Setiap aku tiba di mushalla, beliau sudah datang lebih
dulu. Justru, seringnya lantunan shalawat beliaulah yang membangunkanku.
Setiap kali aku mencoba untuk datang lebih awal, selalu saja beliau
sudah lebih dulu berada di dalam mushalla.
Aku makin penasaran. Sampai akhirnya, suatu saat aku mendapatkan
kesempatan untuk bertanya kepada beliau, siapa yang mengantarnya ke
mushalla, membangunkan warga sekitar untuk shalat subuh berjamaah.
Diantar cucunya yang masih kecil itukah, atau diantar istrinya yang
setia?
Aku terkejut mendengar jawaban pak Didi.
“Selama ini, untuk shalat subuh saya lebih sering datang ke
mushalla sendiri, tanpa diantar cucu atau istri. Bukannya mereka tidak
mau, tapi memang mau saya begitu. Sebelum subuh, jalanan masih sepi,
jadi saya tidak khawatir berpapasan dengan orang-orang yang lalu lalang”
“Pak Didi tidak takut nabrak, terpeleset atau……..maaf, nyasar misalnya?” dengan hati-hati aku bertanya, takut beliau tersinggung.
“Insya Allah tidak. Saya sudah mempunyai hitungan sendiri “ beliau menjawab dengan tenang, tanpa menunjukkan rasa tersinggung sedikit pun atas pertanyaanku.
“ Maksudnya, hitungan bagaimana Pak?” aku makin penasaran.
Kemudian dengan gamblang beliau menjelaskan ‘rumus’
yang dimilikinya untuk bisa sampai ke mushalla ini tanpa nabrak ataupun
khawatir terpeleset ke dalam selokan yang berada di sisi jalan. Dengan
bantuan tongkat kecilnya, beliau berangkat dari rumah sendiri ketika
orang-orang ( termasuk aku ) masih lelap dalam tidur. Beliau berjalan
dengan mengandalkan ingatan mengenai jalan menuju mushalla. ( Kebutaan
yang dialami pak Didi memang bukan sejak lahir, tapi karena kecelakaan,
jadi beliau masih memiliki gambaran tentang jalan dan juga rumah-rumah
yang ada di sepanjang jalan menuju mushalla.).
Pertama, beliau keluar rumah dan berjalan lurus kurang lebih 10
langkah. Sampai di jalan kecil ber-konblok, beliau belok kiri dan
melangkah sekitar 15 langkah. Dengan bantuan tongkatnya, beliau akan
memastikan tembok rumah tetangganya, dimana dia harus belok kanan dan
melangkah lagi sekitar 10 langkah. Saat berada di jalan ini, tangan kiri
beliau akan meraba tembok rumah tersebut, hingga sampai di ujung.
Kemudian beliau akan belok kiri dan berjalan lurus kurang lebih 28
langkah. Setelah itu beliau akan berbelok kearah kanan, maju 10 langkah
dan mencoba memastikan keberadaan tembok mushalla dengan tongkat
kecilnya. Setelah berhasil menemukan tembok mushalla, beliau kemudian
akan terus maju hingga kurang lebih 17 langkah sampai beliau bisa
menyentuh pintu mushalla.
Begitulah, setiap pagi di saat orang-orang masih banyak yang
terlelap, pak Didi sudah lebih dulu datang ke mushalla dengan ‘meraba’
jalanan yang gelap. Gelap, benar-benar gelap, bukan karena tak ada lampu
tapi karena beliau sudah tak bisa menangkap apapun dengan indera
penglihatannya. Aku sering mendapati buktinya. Ketika tiba di mushalla,
keadaan masih gelap, tak ada lampu yang menyala, padahal pak Didi sudah
berada di dalamnya melantunkan shalawat atau mengumandangkan adzan. Dan
jika ia mampu menggunakan pengeras suara untuk membangunkan warga dengan
shalawat dan azan, itu juga ia lakukan dengan cara meraba. Subhanallah!
Aku tertegun mendengar cerita Pak Didi. Aku merasa malu, malu dengan
diriku sendiri,. Allah telah memberiku anugerah yang sangat besar.
Kelima inderaku semua berfungsi dengan sempurna, namun sering kuanggap biasa-biasa saja.
Syukur itu seringkali hanya menjadi ucapan bibir semata. Sementara pak
Didi, istiqamah mendatangi jamaah shalat subuh dengan susah payah,
bahkan selalu hadir lebih awal, dalam kegelapan yang sebenarnya. Pak
Didi mampu mewujudkan syukur itu dalam tindakan nyata. Kebutaan,
kegelapan yang kini beliau rasakan, mampu beliau terima sebagai sebuah
kenikmatan.